Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 Dalam UU Nomor 11 TAHUN 2020 Tentang Cipta Kerja (2)
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 61 (Masih Berlaku) Pemerintah
berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup
jelas) |
|
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 62 (Masih Berlaku) Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup jelas) |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 63 (Masih Berlaku) Dalam
melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup jelas) |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 64 (Masih Berlaku) Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a.
Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan
pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya
penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan
penambangan dalam hutan tanpa izin. b.
Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan
hutan yang mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya
kebakaran hutan, labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan,
kegiatan penggundulan hutan, serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi
internasional. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 65
(Masih Berlaku) Ketentuan
lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Peraturan
Pemerintah memuat aturan antara lain: a. tata cara dan mekanisme
pengawasan, b. kelembagaan pengawasan, c. obyek pengawasan, dan d. tindak lanjut pengawasan. |
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
Pasal 66 (Masih
Berlaku) (1)Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian
kewenangan kepada Pemerintah Daerah. (2)Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka
pengembangan otonomi daerah. (3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: a. Kewenangan yang
diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional. b. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: 1)
jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan, 2)
tata cara dan tata hubungan kerja, 3)
mekanisme pertanggungjawaban, dan 4)
pengawasan dan pengendalian.
|
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 67
(Masih Berlaku) (1)Masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya. (2)Pengukuhan
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3)Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Masyarakat hukum adat
diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: 1) masyarakatnya masih
dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); 2) ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasa adatnya; 3) ada wilayah hukum adat
yang jelas; 4) ada pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5) masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari. b. Peraturan Daerah disusun
dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi
masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang
bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. c. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: 1) tata cara penelitian, 2) pihak-pihak yang
diikutsertakan, 3) materi penelitian, dan 4) kriteria penilaian
keberadaan masyarakat hukum adat.
|
|
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 68 (Masih
Berlaku) (1)Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan
hutan. (2)Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta
pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (3)Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi
karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah
miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a.
Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk
memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam
dan di sekitar hutan. b.
Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada
putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan
hilangnya mata pencaharian mereka. Agar perubahan status dan fungsi hutan
dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka Pemerintah bersama pihak
penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan
kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan
keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. |
|
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 69
(Masih Berlaku) (1)Masyarakat
berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari
gangguan dan perusakan. (2)Dalam
melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan,
pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau
Pemerintah. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya
pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain
sebagainya. b.
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan
perlindungan dan konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan
dan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan
pembiayaan. Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti
pengendalian banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan
kondisi tata air. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai
mitra sehingga terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan
dinamis. |
UU
Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 70
(Masih Berlaku) (1)Masyarakat
turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. (2)Pemerintah
wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang
kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. (3)Dalam
rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. (4)Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Forum pemerhati
kehutanan merupakan mitra Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi merumuskan dan
mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan bagi
Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan. Keanggotaan forum antara lain
terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemerhati
kehutanan. b. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: a. kelembagaan, b. bentuk-bentuk peran serta, dan
c. tata cara peran serta.
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 71
(Masih Berlaku) (1)Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke
penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. (2)Hak
mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan
terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup
Jelas) |
|
Pasal 72
(Masih Berlaku) Jika diketahui bahwa masyarakat
menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi Pemerintah atau instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak
untuk kepentingan masyarakat. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 73
(Masih Berlaku) (1)Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan
perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan. (2)Organisasi bidang kehutanan yang berhak
mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a.
berbentuk
badan hukum; b.
organisasi
tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya
organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan c.
telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
Pasal 74 (Masih Berlaku) (1)Penyelesaian sengketa kehutanan dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. (2)Apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat
dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang
bersengketa. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup
Jelas) |
|
Pasal 75
(Masih Berlaku) (1)Penyelesaian
sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (2)Penyelesaian
sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan
mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai
bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. (3)Dalam
penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para
pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu
penyelesaian sengketa kehutanan. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
Pasal 76
(Masih Berlaku) (1)Penyelesaian
sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan
mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan
tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa. (2)Selain
putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan
pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: Yang dimaksud
dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pihak yang
kalah sesuai keputusan pengadilan. |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 77
(Masih Berlaku) (1)Selain
Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan
hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2)Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang
untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang
berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan
barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. meminta keterangan dan barang bukti dari
orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan; f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan
pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana; g. membuat dan menandatangani berita acara; h. menghentikan penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan. (3)Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat maupun
daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan. b. Menangkap dan menahan
orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga melakukan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam rangka menjaga
kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan koordinasi
dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu KUHAP dan disesuaikan
dengan kondisi lapangan. c. Penghentian penyidikan
wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum. d. Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik
POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui Pejabat
Penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil
penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme hubungan
koordinasi antara Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Pejabat
Penyidik POLRI dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 78
(Sudah Tidak Berlaku) (1) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat
(2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau
huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (3) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). (5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3)
huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (7) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000. 000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (8) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000. 000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (9) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000. 000.000,00 (lima milyar rupiah). (10)
Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.000. 000.000,00 (satu milyar rupiah) (11)
Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.000. 000.000,00 (satu milyar rupiah). (12)
Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp. 50.000. 000,00 (lima puluh juta rupiah). (13)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan,
dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah
pelanggaran. (14)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha,
tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana
masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (15)
Semua hasil
hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat
angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara |
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang karena kelalaiannya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah). (5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah). (6) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.500.000.000,00
(tiga miliar lima ratus juta rupiah). (7) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). (8) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (9) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (21 huruf f diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (10)
Setiap
orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf g diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (11)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) apabila
dilakukan oleh korporasi danlatau atas nama korporasi, korporasi dan
pengurusnya dikenai pidana dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari denda
pidana pokok. (12)
Semua hasil
hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat
angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara. |
Penjelasan: (Cukup Jelas) Analisis: Pada Pada UU terbaru (UU CK) hanya terdapat 12
ayat dimana sebelumnya terdapat 15 ayat. |
|
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 79
(Masih Berlaku) (1)Kekayaan
negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau
rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 dilelang untuk Negara. (2)Bagi
pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang
yang dimaksud. (3)Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 80
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Setiap
perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak
mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada
penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan
tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya
rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. (2)Setiap
pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil
hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di
luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administratif. (3)Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. |
(1)Setiap
perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang ini, dengan tidak
mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada
penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan
tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya
rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. (2)Setiap
pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang
ini apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 78 dikenai sanksi administratif. (3)Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: (Cukup Jelas) Analisi: a.
Pada pasal ini kata “izin” pada UU lama menjadi “Perizinan
Berusaha” di UU terbaru. b.
Pada ayat (2) terdapat beberapa perubahan kalimat sehingga lebih
singkat dan jelas. c.
Pada ayat (3) UU terbaru lebih detail menyebutkan tentang Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ganti rugi tata cara
pengenaan sanksi administratif yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
nantinya. |
|
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 81
(Masih Berlaku) Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan
undang-undang ini. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
Pasal 82
(Masih Berlaku) Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
Pasal 83
(Masih Berlaku) 1. Pada saat mulai berlakunya undang-undang
ini maka dinyatakan tidak berlaku: 1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927,
Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad
Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823). |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 84
(Masih Berlaku) Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup
Jelas) |
|
terimakasih atas pencerahannya pak, sangat membantu. salam sejahtera
BalasHapus