Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 Dalam UU Nomor 11 TAHUN 2020 Tentang Cipta Kerja (1)
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 1
(Masih Berlaku) Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Kehutanan
adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. b. Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. c. Kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. d. Hutan
negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah. e. Hutan hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. f. Hutan adat adalah hutan negara yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat. g. Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan. h. Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. i. Hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. j. Kawasan
hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. k. Kawasan
hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. l. Taman buru
adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. m.
Hasil hutan adalah benda-benda
hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. n. Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat. o. Menteri
adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan:
(Cukup Jelas)
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 2
(Masih Berlaku) Penyelenggaraan kehutanan
berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan
lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan
budaya, serta ekonomi. b. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan
keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan
peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh
karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan
harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan
oligopsoni. c.
Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan
dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan
BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil,
menengah, dan koperasi. d. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan
dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan
masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat. e.
Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan
kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional,
sektor lain, dan masyarakat setempat. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 3 (Masih Berlaku) Penyelenggaraan kehutanan bertujuan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan
yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan
lestari; c. meningkatkan daya dukung daerah
aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif,
berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan:
(Cukup Jelas)
UU 41/1999 UU 11/2020 Pasal 4
(Masih Berlaku) (1) Semua hutan di dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan hutan oleh Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. (3)
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. (Tidak ada perubahan) Penjelasan: a. Yang
dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah
semua benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13. Hasil
hutan tersebut dapat berupa: 1)
hasil nabati beserta turunannya
seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat,
getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan; 2) hasil
hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa
buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang
dihasilkannya; 3) benda-benda
nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan
bendabenda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara
bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; 4) jasa
yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan
keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain; 5) hasil
produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah
yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa
kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp. Benda-benda tambang yang
berada di hutan juga dikuasai oleh Negara, tetapi tidak diatur dalam
undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang berlaku
dengan tetap memperhatikan undang-undang ini. Pengertian "dikuasai"
bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang
mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum
publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini. b. Pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat penting,
strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. c. Yang
dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang
dapat berupa hutan atau bukan hutan.
UU 41/1999 UU 11/2020 Pasal 5 (Masih
Berlaku) (1)
Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan
negara, dan b. hutan hak. (2)
Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dapat berupa hutan adat. (3)
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya. (4)
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali
kepada Pemerintah. Penjelasan: a. Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).
Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan
pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat
dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak
menguasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada
tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak
meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. b. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa disebut hutan desa. c. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. d. Hutan hak yang
berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 6 (Masih Berlaku) (1)
Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: a.
fungsi konservasi, b.
fungsi lindung, dan c.
fungsi produksi. (2) Pemerintah
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a.
hutan konservasi, b.
hutan lindung, dan c.
hutan produksi. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung,
dan produksi. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai
dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati
dan ekosistemnya. b. Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang
diemban oleh suatu hutan. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 7 (Masih Berlaku) Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a
terdiri dari: a.
kawasan hutan suaka alam, b.
kawasan hutan pelestarian alam, dan c.
taman buru. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini merupakan bagian dari kawasan suaka alam yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan. b. Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur
tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan
hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam
undang-undang ini. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 8
(Masih Berlaku) (1) Pemerintah
dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. (2) Penetapan
kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlukan untuk kepentingan umum seperti: a.
penelitian dan pengembangan, b. pendidikan
dan latihan, dan c.
religi dan budaya. (3) Kawasan
hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah
fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk
keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
kepentingan-kepentingan religi dan budaya setempat. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 9 (Masih Berlaku) (1) Untuk
kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. (2) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di
wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.
Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di
dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul
jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan
tidak selalu sama dengan wilayah administratif Pemerintahan kota. Ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan
hutan kota memuat aturan antara lain: a.
tipe hutan
kota, b.
bentuk hutan
kota, c.
perencanaan
dan pelaksanaan, d.
pembinaan dan
pengawasan, e.
luas
proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat
pencemaran, dan lain-lain. Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman dalam
penetapan Peraturan Daerah. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 10 (Masih Berlaku) (1)
Pengurusan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. (2)
Pengurusan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan: a. perencanaan
kehutanan, b. pengelolaan
hutan, c. penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d. pengawasan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 11 (Masih Berlaku) (1)
Perencanaan kehutanan dimaksudkan
untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2)
Perencanaan kehutanan dilaksanakan
secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 12 (Masih Berlaku) Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf
a, meliputi: a.
inventarisasi hutan, b. pengukuhan
kawasan hutan, c.
penatagunaan kawasan hutan, d. pembentukan
wilayah pengelolaan hutan, dan e.
penyusunan rencana kehutanan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Dalam
pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus
mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang
luas akan memerlukan waktu lama. Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada
salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat
dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan. |
UU 41/1999 |
Pasal 13 (Masih Berlaku) (1)
Inventarisasi hutan dilaksanakan
untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi
kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. (2)
Inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan
fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. (3)
Inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah, c. inventarisasi hutan tingkat daerah
aliran sungai, dan d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. (4)
Hasil inventarisasi hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain
dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber
daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan. (5)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. |
Penjelasan: a.
Inventarisasi
hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang
lebih rendah. Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan
negara maupun hutan hak. b.
Yang dimaksud
dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat
menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber
daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya,
apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. c.
Inventarisasi
hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi
pengaturannya akan dirangkum dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: 1) tata cara, 2) mekanisme pelaksanaan, 3) pengawasan dan pengendalian, dan 4) sistem informasi. |
Aturan Pelaksanaan
Pasal 4 PP Nomor 22 Tahun 2021
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 14
(Masih Berlaku) (1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan
hutan. (2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas kawasan hutan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan:
(Cukup Jelas) |
|
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 15
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses
sebagai berikut: a.
penunjukan
kawasan hutan, b.
penataan
batas kawasan hutan, c.
pemetaan
kawasan hutan, dan d.
penetapan
kawasan hutan. (1)Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah. |
(1)Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan. (2)Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah. (3)Pengukuhan
kawasan hutan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat
geografis atau satelit. (4)Pemerintah
Pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis. (5)Ketentuan
lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan
kawasan hutan yang dilakukan secara digital, antara iain berupa: a.
pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas
luar; b.
pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong
batas; c.
pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan d.
pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di
lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. Analisis: 1.
Pada UU terbaru (UU CK) terdapat perbaikan kata dan penambahan
ayat yaitu ayat (3), (4) dan (5). 2.
Pada ayat (3) menjelaskan tentang cara pengukuhan kawasan hutan
(seperti yang dimaksud pada ayat 2) dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan koordinat geografis atau satelit. 3.
Pada ayat (4) menjelaskan tentang bagaimana pemerintah pusat
memperioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan pada daerah yang
strategis. 4.
Dan pada ayat (5) menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut
tentang prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan (seperti yang dimaksud
pada ayat 4) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 16 (Masih Berlaku) (1)Berdasarkan
hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal
15, Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan. (2)Penatagunaan
kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan
hutan. (3)Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan,
sehingga materi pengaturannya dirangkum dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah dimaksud antara
lain memuat kriteria atau persyaratan hutan dan kawasan hutan sesuai dengan
fungsi pokoknya. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 17
(Masih Berlaku) (1)Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
dilaksanakan untuk tingkat: a. propinsi, b. kabupaten/kota, dan c. unit
pengelolaan. (2)Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan
batas administrasi Pemerintahan. (3)Pembentukan unit pengelolaan hutan yang
melampaui batas administrasi Pemerintahan karena kondisi dan karakteristik
serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah
propinsi yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan wilayah
pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah
kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit
pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara
lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan
produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan
pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat
(KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS). b. Dalam penetapan
pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga harus
mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan
kearifan tradisional masyarakat. Pembentukan unit pengelolaan hutan
didasarkan pada kriteria dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 18
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Pemerintah menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial,
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2)Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas
daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. |
(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan
mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap
daerah aliran sungai, dan atau pulau guna pengoptimalan manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang
harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran
sungai dan/atau pulau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas
kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang
terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
"penutupan hutan" atau forest couera"ge adalah penutupan lahan
oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat
tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup
satwa sebagai satu ekosistem hutan. b. Yang dimaksud dengan
"pengoptimalan manfaat" adalah kesinambungan antara manfaat
lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari. Analisis: 1.
Pada UU terbaru (UU CK) terdapat beberapa perbaikan dan
penggantin kata yaitu Pemerintah berubah menjadi Pemerintah pusat,
Optimalisasi menjadi Pengoptimalan. 2.
Pada ayat (2) Luas kawasan hutan yang
harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga
puluh persen) dari luas daerah aliran
sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional, sedangkan pada
UU terbaru (UU CK) menghilangkan kewajiban mempertahankan luas kawasan hutan
minimal 30% dan pengaturan luas kawasan yang harus dipertahankan diatur oleh
pemerintah pusat. 3.
Terdapat penambahan 1 ayat yaitu ayat (3) dimana ayat tersebut
menjelasakan bahwa pengaturan luas kawasan yang harus dipertahankan akan di
atur dalam peraturan pemerintah (PP) nantinya. |
UU 41/1999 |
UU 11/2020 |
Pasal 19
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan
didasarkan pada hasil penelitian terpadu. (2)Perubahan
peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3)Ketentuan
tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. |
(1) Perubahan peruntukan dan perubahan fungsi
kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil
penelitian terpadu. (2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan
peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: Penelitian terpadu
dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka
kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai
kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authoritg) bersama-sama
dengan pihak lain yang terkait. Analisi: 1.
Pada UU terbaru (UU CK) pasal (1) terdapat perubahan kata
Pemerintah menjadi Pemerintah pusat. 2.
Pada ayat (2) Perubahan peruntukan kawasan hutan tidak lagi
ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). 3.
Pada UU Terbaru (UUCK) ayat (3) pada UU 41 tahun 1999
dihapuskan. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 20
(Masih Berlaku) (1)Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan
dan kondisi sosial masyarakat, Pemerintah menyusun rencana kehutanan. (2)Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan
menurut fungsi pokok kawasan hutan. (3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Dalam menyusun rencana
kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan pokok, harus
diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18. b. Penyusunan rencana
kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah
tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain: 1 1. jenis-jenis rencana, 2 2. tata cara penyusunan rencana kehutanan, 3 3. sistim perencanaan, 4 4. proses perencanaan, 5 5. koordinasi, dan 6 6. penilaian. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 21
(Masih Berlaku) Pengelolaan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan: a. tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Hutan
merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan
dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan
demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan
nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta
memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat
setempat. Pengelolaan
hutan pada dasarnya menjadi kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
Mengingat
berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang
membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan
hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di
bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan
(Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah
Menteri. Untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga
penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan,
lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta
lembaga penyuluhan. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 22
(Masih Berlaku) (1)Tata hutan dilaksanakan dalam rangka
pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang
lebih optimal dan lestari. (2)Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan
dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan
hutan. (3)Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. (4)Berdasarkan blok dan petak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk
jangka waktu tertentu. (5)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan
: a. Tata hutan merupakan
kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya
memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya,
dan keadaan hutan. Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya
hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya,
dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
secara lestari. b. Pembagian blok ke dalam
petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan dapat
memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat.
Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai
dengan fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan. Efisiensi pengelolaan
adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang
optimal dan ekonomis dengan cara sederhana. c. Penyusunan rencana
pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya
masyarakat, dan kondisi lingkungan. d. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: 1)
pengaturan tentang tata cara penataan hutan, 2)
penggunaan hutan, 3)
jangka waktu, dan 4) pertimbangan daerah. pertimbangan daerah. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 23
(Masih Berlaku) Pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Hutan
sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau
golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan
secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga
masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Manfaat yang optimal
bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan
yang berkualitas tinggi dan lestari. |
UU Nomor 41 Tahun
1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 24
(Masih Berlaku) Pemanfaatan kawasan hutan dapat
dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona
inti dan zona rimba pada taman nasional. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Hutan
cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan
taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.
Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut: a.
zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak
dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas
manusia; b.
zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi
sebagai penyangga zona inti; dan c.
zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang
dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 25
(Masih Berlaku) Pemanfaatan kawasan hutan
pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
Aturan Pelaksanaan:
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11 Tahun 2020 |
Pasal 26
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. (2)Pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu. |
(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu. (2) Pemanfaatan hutan lindung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat. |
Penjelasan: Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk
usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan,
seperti: a. a. Budi daya jamur, b. b. penangkaran satwa, dan c. c. budidaya tanaman obat
dan tanaman hias. d. Pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi
jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
utamanya, seperti: 1) pemanfaatan untuk wisata
alam, 2) pemanfaatan air, dan 3) pemanfaatan keindahan
dan kenyamanan. e.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah
segala bentuk kegiatan untukmengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak
merusak fungsi utama kawasan, seperti: 1) mengambil rotan, 2) mengambil madu, dan 3) mengambil buah. f. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 27
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi. (2)Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah. (3)Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi. |
(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perseorangan; b. koperasi; c. badan usaha milik negara; d. badan usaha milik daerah; atau badan usaha
milik swasta. |
|
Penjelasan: (Cukup Jelas) Analisis: 1.
Pada Pada UU 41 tahun 1999
izin Pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu hanya
diberikan kepada perorangan dan koperasi, sedangkan pada UU Terbaru (UU CK)
izin Pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu tidak hanya
diberikan kepada perorangan dan koperasi tetapi juga kepada Budan Usaha Milik
Negara (BUMN), Budan Usaha Milik Desa (BUMD) dan Budan Usaha Milik Swasta
(BUMS). 2.
Pada UU terbaru (UU CK) ayat (2) dan (3) dihapuskan. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 28 (Sudah Tidak Berlaku) Pemanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. |
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. (2) Pemanfaatan hutan produksi sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat. |
Penjelasan: (Cukup Jelas) Analisis: Pada UU
terbaru (UU CK) Pemanfaatan hutan produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dimana pada
undang-undang 41 tahun 1999 tidak diatur mengenai hal tersebut. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 29
(Sudah Tidak Berlaku) (1)Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi. (2)Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah. (3)Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah. (4)Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah. (5)Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, a. koperasi. |
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perseorangan; b. koperasi; c. badan usaha milik negara; d. badan usaha milik daerah; atau e. badan usaha milik swasta. Pasal 29A (1) Pemanfaatan hutan lindung dan hutan
produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan
kegiatan Perhutanan sosial. (2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan kepada: a. perseorangan; b. kelompok tani hutan; dan c. koperasi. Pasal 29B a. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan
Berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
|
Penjelasan: (Cukup jelas) Analisis: 1. Pada UU terbaru (UU CK) Budan Usaha Milik Negara (BUMN), Budan Usaha Milik Desa (BUMD)
dan Budan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga berhak mengajukan izin udaha dalam
hal pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang dimana
undang-undang sebelumnya (UU 41 tahun 1999) hanya bisa dilakukan oleh
perorangan dan koperasi. 2. Pada UU terbaru (UU CK)
terdapat penambahan pasal yaitu pasal 29A dan 29B 3. Pasal 29A menjelaskan
bahwa Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan social dan dimana kegiatan tersebut dapat diberikan kepada
Perseorangan, Kelompok Tani Hutan dan Koperasi (BUMN, BUMD dan BUMS tidak
termasuk didalamnya). 4. Pasal 29B menjelaskan
bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan
dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 30
(Sudah Tidak Berlaku) Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha pemanfaatan
hutan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
|
Penjelasan: Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerja sama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 31 (Sudah Tidak Berlaku (1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan,
dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. (2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1)
Untuk
menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian
hutan dan aspek kepastian usaha. (2)
Ketentuan
mengenai Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
Penjelasan: a.
Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi: 1) kelestarian lingkungan, 2) kelestarian produksi,
dan 3) terselenggaranya fungsi
sosial dan budaya yang adil merata dan transparan. b. Yang dimaksud dengan
aspek kepastian usaha meliputi: 1) kepastian kawasan, 2) kepastian waktu usaha,
dan 3) kepastian jaminan hukum
berusaha. c.
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: 1) pembatasan luas, 2) pembatasan jumlah izin
usaha, dan 3) penataan lokasi usaha. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 32 (Sudah Tidak Berlaku) Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban
untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. |
Pemegang Perizinan Berusaha wajib untuk menjaga, memelihara, dan
melestarikan hutan yang dikelolanya. |
Penjelasan: Khusus bagi pemegang izin
usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk menjaga,
memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban
untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 33 (Sudah Tidak Berlaku) (1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil
hutan. (2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan
secara lestari. (3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh
Menteri. |
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil
hutan. (2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan. (3) Ketentuan mengenai pembinaan dan
pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: Yang dimaksud dengan
pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan. Analisis: 1.
Pada Pada UU terbaru (UU
CK) terdapat beberapa perubahan kata dan redaksi kalimat sehingga lebi jelas. 2. Pada ayat (3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi oleh Menteri melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 34 (Masih
Berlaku) Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikankepada: a. masyarakat hukum adat, b. lembaga pendidikan, c. lembaga penelitian, d. lembaga sosial dan keagamaan. |
(Tidak ada perubahan) |
|
Penjelasan: Pengelolaan
kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus
seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk
kepentingan sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous
technology). Untuk itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah
perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat (indigenous institution), serta
kelestarian dan terpeliharanya ekosistem. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 35 (Sudah Tidak Berlaku) (1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin
usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. (2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan. (3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi. (4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan dikenakan penerimaan negara bukan pajak di bidang
kehutanan. (2) Penerimaan negara bukan pajak di bidang
kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari dana reboisasi
hanya dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. (3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian
hutan. (4) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemungutan hasil hutan hanya dikenakan penerimaan negara bukan pajak berupa
provisi di bidang kehutanan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: (Cukup Jelas) Analisis: 1.
Pada Pada UU terbaru (UU
CK) terdapat beberapa perubahan kata dan redaksi kalimat sehingga lebi jelas. 2.
Pada ayat (2) iuran izin usaha,
provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja diubah menjadi penerimaan
negara bukan pajak di bidang kehutanan. 3.
Terdapat penembahan ayat sehinggah pada UU CK terdapat 5 ayat
yang awalnya (pada UU 41 tahun 1999) hanya terdapat 4 ayat dimana ayat
tersebut menjelskan tentang penerimaan negara bukan pajak di bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari dana reboisasi hanya
dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
|
Pasal 36 (Masih
Berlaku) (1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. (2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi
lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. |
(Tidak ada perubahan) |
||
Penjelasan: a.
Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat
dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya
dukung lahannya. b.
Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25,
dan Pasal 26. Pemerintah memberikan kompensasi kepada pemegang hutan hak,
apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan hutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 37 (Masih
Berlaku) (1)Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. (2)Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. |
(Tidak ada perubahan) |
|
Penjelasan: Terhadap
hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap
hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 38 (Sudah
Tidak Berlaku) (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan. (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri
dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan. (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta
bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. |
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. (3) Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui
pinjam pakai oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang
dilakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. |
|
Penjelasan: a. Kepentingan pembangunan
di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan
hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi
hutan yang bersangkutan, dilarang. b. Kepentingan pembangunan
di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat
dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik,
telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan
keamanan. Analisis: 1. Pada UU lama (No.41
tahun 1999) pasal 38 ayat (3) penggunaan kawasan hutan lebih dispesifikasikan
pada kegiatan pertambangan, sedangkan pada UU terbary (UU CK) tidak demikian
(secara umum) dan pemberian pemberian
izin pinjam pakai oleh Pemerintah Pusat yang sebelumnya oleh Menteri atas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 2. Terdapat penhapusan 1
ayat sehingga UU terbaru (UU CK) hanya 4 ayat yang sebelumnya terdapat 5
ayat. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 39 (Masih
Berlaku) Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal
29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Peraturan
Pemerintah memuat aturan antara lain: a. tata cara pemberian izin, b.
pelaksanaan usaha pemanfaatan, c. hak dan kewajiban, dan d. pengendalian dan
pengawasan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 40 (Masih
Berlaku) Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Rehabilitasi
hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta
pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun
fungsi lindung dan konservasi. Upaya meningkatkan daya dukung serta
produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan dan lahan mampu berperan
sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah dan air, dalam
rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 41 (Masih
Berlaku) (1)Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi, b. penghijauan, c. pemeliharaan, d. pengayaan tanaman, atau e. penerapan teknik konservasi tanah secara
vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. (2)Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman
nasional. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Kegiatan reboisasi dan
penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi
dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan
dilaksanakan di luar kawasan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan
diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu
daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir
dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal. Rehabilitasi hutan bakau
dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan
lainnya. b. Pada cagar alam dan zona
inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari
jenis flora dan fauna. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 42 (Masih
Berlaku) (1)Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan
berdasarkan kondisi spesifik biofisik. (2)Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan
lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka
mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. (3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara spesifik cocok
pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya mendukung
ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi. Penerapan teknik
rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik, sehingga
perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin. Pelaksanaan rehabilitasi hutan
dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. b. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: a. pengaturan daerah aliran sungai prioritas, b.
penyusunan rencana, c. koordinasi antarsektor tingkat pusat dan daerah, d.
peranan pihak-pihak terkait, dan e. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis
tanaman dan teknologi. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 45 (Masih
Berlaku) (1)Penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib
dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
Pemerintah. (2)Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal
pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai
dengan tahapan kegiatan pertambangan. (3)Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan
untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan
permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan
rehabilitasi. (4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis
vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan. b. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: a. pola, teknik, dan metode, b. pembiayaan, c.
pelaksanaan, dan d. pengendalian dan pengawasan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 43 (Masih
Berlaku) (1)Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan
atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan
rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi. (2)Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan
dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Dukungan
Pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman, dan
lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan Pemerintah. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 44 (Masih
Berlaku) (1)Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali
lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukannya. (2)Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan,
dan pelaksanaan reklamasi. (3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Peraturan
Pemerintah memuat aturan antara lain: a.
teknik, b.
tata cara, c.
pembiayaan, d.
organisasi, e.
penilaian, dan f.
pengendalian dan pengawasan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 45 (Masih
Berlaku) (1)Penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib
dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
Pemerintah. (2)Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal
pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai
dengan tahapan kegiatan pertambangan. (3)Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan
untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan
permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan
rehabilitasi. (4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis
vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan. b. Peraturan Pemerintah
memuat aturan antara lain: a. pola, teknik, dan metode, b. pembiayaan, c.
pelaksanaan, dan d. pengendalian dan pengawasan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 46 (Masih Berlaku) Penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya,
agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara
optimal dan lestari. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Fungsi
konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara;
diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 47 (Masih
Berlaku) Perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk: a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan b. mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan,
hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: (Cukup Jelas) |
|
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 48 (Sudah
Tidak Berlaku) (1) Pemerintah mengatur perlindungan hutan,
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. (2) Perlindungan hutan pada hutan negara
dilaksanakan oleh Pemerintah. (3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang
menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. (4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan
oleh pemegang haknya. (5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan
hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan
hutan. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. |
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengatur pelindungan hutan,
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. (2) Pelindungan hutan pada hutan negara
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 wajib melindungi hutan dalam areal
kerjanya. (4) Pelindungan hutan pada hutan hak dilakukan
oleh pemegang haknya. (5) Untuk menjamin pelaksanaan pelindungan
hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya pelindungan
hutan. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan: a.
Yang dimaksud dengan "pelindungan hutan" termasuk di
dalamnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat yang
berada di dalam maupun di luar kawasan hutan, sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat hukum adat diberikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. b.
Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang Perizinan Berusaha
meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak,
dan kebakaran. c.
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: 1)
prinsip-prinsip pelindungan hutan; 2)
wewenang kepolisian khusus kehutanan; 3)
tata usaha peredaran hasil hutan; dan 4)
pemberian kewenangan operasional kepada daerah Analisis: Pada UU
terbaru (UU CK) menjelaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam mengatur pelindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan
harus sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat namun pada UU lama (UU 41
tahun 1999) tidak demikian. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 49 (Sudah
Tidak Berlaku) Pemegang hak atau izin bertanggung jawab
atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. |
(1) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib
melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di areal kerjanya. (2) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. |
|
Penjelasan: (Cukup jelas) Analisis: Pada UU terbaru (UU CK)
menambahkan 1 ayat dimana menjelaskan bahwa Pemegang hak atau Perizinan
Berusaha tidak hanya bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di
areal kerjanya melainkan juga wajib melakukan upaya pencegahan kebakaran. |
UU Nomor 41 Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 50 (Sudah
Tidak Berlaku) (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan
sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan. (3) Setiap orang dilarang : a.
mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b.
merambah
kawasan hutan; c.
melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus)
meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100
(seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari
kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah
dari tepi pantai. d.
membakar
hutan; e.
menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f.
menerima,
membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau
memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g.
melakukan
kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di
dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h.
mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i.
menggembalakan
ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang; j.
membawa
alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin
pejabat yang berwenang; k.
membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon
di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l.
membuang
benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang
berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa,
dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) Setiap orang yang diberi Perizinan Berusaha
di kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan. (2) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, dan/atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. membakar hutan; c. memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang; d. menyimpan hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah; e. menggembalakan ternak di dalam kawasan
hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat
yang berwenang; f. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan
fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan g. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang
berasal dari kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang berwenang. (3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa,
dan/atau mengangkut tumbuhan dan/atau satwa yang dilindungi diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50A (1) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan atau huruf e dilakukan oleh
orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus
menerus dikenai sanksi administratif. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap: a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat
yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling
singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan
penataan Kawasan Hutan; atau b.
orang
perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat. |
Penjelasan: a. Yang dimaksud dengan
"orang" adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun
badan usaha. b. Yang dimaksud dengan
"kerusakan hutan" adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik,
atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya. c. Yang dimaksud dengan
"pejabat yang berwenang" adalah pejabat pemerintah yang diberi
wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perrzinan
Berusaha. Analisis: 1. Pada ayat (1) UU lama
(UU 41 tahun 1994) dihapuskan. 2. Pada ayat (1) UU baru
(UU CK) setiap orang yang diberi Perizinan Berusaha di kawasan hutan (bukan
hanya usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu) dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan. 3. Pada ayat (2) UU baru
(UU CK) terdapat 7 poin dimana sebelumnya (pada UU 41 tahun 1999) terdapat 13
poin. 4. Terdapat penembahan ayat
pada UU baru (UU CK) menjadi 3 ayat yang sebelumnya (pada UU 41 tahun 1999)
hanya terdapat 2 ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan bahwa Ketentuan
tentang mengeluarkan, membawa, dan/atau mengangkut tumbuhan dan/atau satwa
yang dilindungi diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Pada pasal ini juga
terdapat penambahan pasa yaitu pasal 50A dimana pasal ini menjelaskan tentang
pemberian sanksi administratif dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan atau huruf. 6. Pada pasal ini juga
menjelaskan tentengan pengecualian sanksi administrative terhadap orang
perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara
terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
|
Pasal 51 (Masih
Berlaku) (1)Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat
kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang
kepolisian khusus. (2)Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang untuk: a. mengadakan patroli/perondaan di dalam
kawasan hutan atau wilayah hukumnya; b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang
berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya; c. menerima laporan tentang telah terjadinya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; d. mencari keterangan dan barang bukti
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan; e. dalam hal tertangkap tangan, wajib
menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan f. membuat laporan dan menandatangani laporan
tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan. |
(Tidak ada
perubahan) |
|
Penjelasan: (Cukup jelas) |
|
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 52 (Masih
Berlaku) (1)Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia
berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. (2)Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan
serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat. (3)Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan, Pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma
nutfah khas Indonesia dari pencurian. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Kualitas sumber daya
manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memiliki
peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari. b. Kearifan tradisional
yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan kultural, baik
berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi
atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk
peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan. c. Plasma nutfah adalah
substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian
dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan
alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mendukung pembangunan nasional. Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau
memanfaatkan plasma nutfah secara tidak sah atau tanpa izin. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 53 (Masih
Berlaku) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pengurusan hutan. (2) Penelitian dan pengembangan kehutanan
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan
pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh
Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan
masyarakat. (4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi kehutanan. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: a. Budaya IPTEK adalah
kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap dan perilaku
masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami, menguasai,
menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari.
b. Yang dimaksud dengan
Pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) departemen yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama lembaga penelitian
nondepartemen. Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi
negeri dan swasta. Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN,
BUMD, dan BUMS Indonesia. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan
atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau
lembaga swadaya masyarakat. c. Untuk mendorong dan
menciptakan kondisi yang kondusif, Pemerintah melakukan inisiatif dan
koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara lain
melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif
yang memadai. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 54 (Masih
Berlaku) (1)Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan
hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem
informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan. (2)Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada
peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Pemerintah mengembangkan
hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi paket teknologi tepat
guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan efisiensi
dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan. b.
Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan
IPTEK, diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh
manfaat dari hasil temuannya. Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari
pencurian terhadap hak paten, hak cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang
menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh peneliti atau lembaga Litbang. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 55 (Masih
Berlaku) (1)Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia kehutanan yang terampil,
profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia. (2)Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya
manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari,
didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (3)Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. (4)Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya
pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Semua upaya pemanfaatan
dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan manifestasi rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan manusia sebagai makhluk
individu dan mahluk sosial. b. Penyelenggaraan
pendidikan dan latihan dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga
internasional. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok,
antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya
masyarakat. c. Mengingat
penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan
oleh Pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah harus mengambil inisiatif dan
melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 56 (Masih
Berlaku) (1)Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu
mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan
manusia. (2)Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah, dunia
usaha, dan masyarakat. (3)Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: Mengingat
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh
Pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah harus mengambil inisiatif dan
melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 57 (Masih
Berlaku) (1)Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan. (2)Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung
kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan. |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: a. Untuk penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna
percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar
ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang
memadai. Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama
Menteri membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga
tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri. b. Penyediaan kawasan hutan
dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan usaha guna memberdayakan
lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 58 (Masih
Berlaku) Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur
dengan Peraturan Pemerintah. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Peraturan
Pemerintah memuat aturan antara lain: a.
kelembagaan, b.
tata cara kerjasama, c.
perizinan, d.
pengaturan tenaga peneliti asing, e.
pendanaan dan pemberdayaan, f.
pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan, g.
sistem informasi, dan h.
pengawasan dan pengendalian. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 59 (Masih
Berlaku) Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk
mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga
tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik
bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. |
(Tidak ada perubahan) |
Penjelasan: Yang
dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat
penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan. |
UU Nomor 41
Tahun 1999 |
UU Nomor 11
Tahun 2020 |
Pasal 60 (Masih
Berlaku) (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. (2)Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan |
(Tidak ada
perubahan) |
Penjelasan: (Cukup jelas) |
|
...........Bersambung ke Pasal 61
Leave a Comment